Cerita sedikiiit soalnya lagi pengen cerita :D

Semua pertemuan, yang kemudian dijauhkan, ternyata itu adalah bentuk perlindungan dari Allah. 


Bertahun-tahun melewati hidup, baru bisa menyadari hal ini sekarang. 


Aku mau cerita ini, soalnya...hehe... habis nangis lagi. 

Kecewanya masih ada, tapi gapapa!



Waktu smp, aku punya teman dekat yang sefrekuensi. Kami sama sama suka membaca dan menulis fiksi. Ada satu momen yang paling aku ingat, di mana saat jam kosong, kami duduk berhadapan, saling bertukar cerita novel yang kami baca, dengan judul berbeda tapi penulis yang sama. Sebuah tetralogi yang kalau dibaca acak, tidak urut pun, pembaca masih bisa menikmatinya. Dialah, Ilana Tan, yang bahkan sampai sekarang masih anonim, tidak diketahui seperti apa penulisnya usianya berapa, apa jenis kelaminnya. 


Aku ingat dia pernah menjuarai lomba menulis tingkat jawa tengah, bahkan dia juga menulis novelnya sendiri, walau nggak selesai. Sudah tentu aku kagum! Dan temanku ini sangat pintar dalam pelajaran; juga lebih bisa bersosialiasi, tidak seperti aku yang... socially awkward. 


We also watch the same movie, liking the same actor. Seru banget kalau diingat ingat. 

Rumah kami juga searah, jadi sering pulang bareng. 


Pada suatu ketika, karena dekat, temanku main ke rumah. Nonton film bareng di komputer (entah itu film sewaan video ezy atau film bajakan lebahganteng, aku lupa), lalu setelah itu, kami sholat magrib jamaah. 


Aku sedikit menyadari kalau dari situ, ekspresinya sedikit aneh, tapi aku nggak mengambil pusing soal itu. 


Lalu selang beberapa lama kemudian, aku membaca update an status di facebooknya, kurang lebih tulisannya begini: 
"Keluarga yang bahagia itu bukan diukur dari banyaknya harta yang diberikan, tetapi banyaknya kasih sayang yang dicurahkan"

Pada saat itu aku berpikir, hmm... apakah ini menyindir? Atau tidak? Ah, gatau! 


(Aku mencoba melihat kenangan yang terjejak di facebook... aku... sedih dan nangis lagi deh hahaha) 


We... were so close to another... 


Aku sedikit curiga, apakah temanku ini, ada rasa iri di dalam hatinya? Setelah datang ke rumahku? Tapi, aku masih mencoba buat nggak terlalu memikirkannya.


Kelas 3 smp, kami beda kelas. Waktu sma, kita masuk sekolah yang sama, tapi juga beda kelas. 


Waktu sma, aku belum pakai jilbab. 
Aku ingat, dia pernah menyinggung hal itu dan berkata, "masa', mau pakai jilbab nunggu siap? Kamu kalo mau sholat aja ga nunggu siap dulu baru sholat, kan?" 
Kata-katanya benar. Nggak salah. 
Tapi aku tidak sedang meminta nasehat. Aku juga tahu kalau memakai jilbab itu wajib, dan aku memang sedang mempertimbangkannya. Aku memang berencana menutup aurat, ketika aku dinyatakan lulus SMA. dan aku nggak pernah membicarakan hal itu pada siapa pun. Temanku, ga ada angin ga ada hujan, tiba tiba bilang begitu. 


Sedikit kecewa, tapi nggak apa-apa. 

Lalu waktu berlalu, kami nggak dekat lagi. 
Waktu kuliah, aku beberapa kali membalas story nya, sekedar menanyakan kabar. Tapi, responnya.. ehm, cukup dingin? Pembicaraan kita nggak mulus. Nggak seperti sebelumnya. And the awkwardness though--


Like.. 
Aku sama teman kecilku, jarang ketemu, tapi kalah ngobrol ya baik baik aja, tuh? Seolah jarak dan waktu yang memisahkan itu nggak ada. 

Ya... sudahlah... berteman, mungkin memang ada masanya. 



Before : nandaaaa you are so sweeet thank u so much ❤️❤️❤️❤️
               Nandaaa whre are you? I need you online right noww


After: 
"Sekarang kerja di mana?
"Sulawesi"
"Wah, jauh ya"
dibaca.


:))
Siapa yang tidak menangis kalau seperti itu? 



Tapi, orang-orang yang dengan sendirinya tiba tiba jadi jauh, tiba tiba jadi nggak akrab, dan seolah kembali menjadi dua orang asing yang nggak pernah bertemu sebelumnya... aku sadar kalau ternyata begitulah cara Allah melindungiku. 


Mereka semua baik; tapi mungkin ada satu atau dua hal yang tidak cocok, yang (mungkin) nantinya malah kita akan saling menyakiti diri sendiri, padahal tidak ada niatan seperti itu... 

Aku kecewa, pernah merasa tersakiti atas kata-kata atau perbuatannya... tapi, nggak apa-apa; aku sudah tak marah, walau masih teringat... 


Tapi aku mau menekankan satu hal: temanku itu, dia orang yang baik. Hanya saja mungkin, ketika dia menyampaikan sesuatu,  penyampaiannya tidak bisa disesuaikan dengan orang yang menerima penyampaian itu. 



The moment when we were close like a best friend... was so important. 


To, F,
Terima kasih, karena pernah menjadi teman dekatku, dan juga, terima kasih karena mau berteman denganku. 

Love, Nanda. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

To my parents