Ternyata aku avoidant

Butuh waktu berapa lama buat sadar? 10 tahun? Wkwkw 


Jadi aku habis melihat suatu video, yang menyederhanakan tentang avoidant, secure, sama anxious. 


Linknya videonya ini ➡️ https://www.instagram.com/reel/DGz3Qk8BXpV/?igsh=MWo0ejRwanNxdjZ1aA==


Sebelumnya aku gak paham apa itu teori attachment. Diibaratkan dengan gelas seperti ini, akhirnya aku paham. 


Iya. 

Akhirnya. 

Aku. 

Paham. 


Aku, ternyata seorang yang avoidant. 

Gak suka konflik. Daripada ribet konflik memdingan aku mundur, menghindar, lari jauh jauh. Cut off, kalo bisa. Kalo udah keterlaluan banget and i cant handle that. Atau bahkan, walau hanya aku melihat "potensi" konflik yang belum tentu utu terjadi atau tidak. 


Whoops, ini kalo aku melangkah, gimana kalo ternyata aku tidak diterima? Gimana kalo aku nanti sakit dan patah hati? Daripada gitu mending ngehindar aja. 


Semakin mengagumi, semakin ingin memiliki, semakin menghindar.  Aneh? Iya, aneh. 


Selain itu, aku juga denial. 

Enggak, aku gak marah kok. 

Enggak, aku gapapa. Aku gak sedih kok. 


Itu gak sehat dan gak baik.... 


Lalu aku mulai mencaritahu mengapa sesorang bisa jadi avoidant. Kemudian berpikir, kembali ke masa lalu. 


I want to be denial about this, too... but... 

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kehangatan keluarga. 

Fisiknya ada. Tapi hampa. 


Ah tapi gak sepenuhnya hampa, kok? 

Mungkin lebih ke... apa ya... 

Aku anak bungsu, tapi tidak diperlakukan seperti anak bungsu. Gak boleh manja. 

Kalau aku nangis atau mengeluhkan sesuatu, aku tidak mendapatkan validasi. Yang aku ingat, di masa kecilku: "kamu jangan terlalu manja" (dalam bahasa jawa ngomongnya: "kowe ojo dingalem") 


Begitu beberapa kali, hingga tumbuh dewasa, menyimpan "luka", atau lebih tepatnya terbiasa (aku gak suka menyebutnya dengan luka karena kesannya kok kayak jadi anak sok tersakiti banget? Wkwkw)... terbiasa untuk menahan apa yang aku rasakan. Karena kalo nangis, yang ada di pikiranku: "apaan sih gini doang nangis? Cengeng banget. Padahal gak seberapa dan sepele banget."

Yang ada di pikiranku: i should not cry over small things. Padahal.... itu bukan small things.  Yang namanya lelah, sakit hati... wajar sebagai manusia. Jangan gapapa gapapa mulu. 

Dan ternyata, kalau aku mengekspresikan diri dengan menangis, ada sisi di dalam diriku yang khawatir akan adanya penolakan. What if I cry, then everyone, or people around me, hate me? 


Apakah... hal itu termasuk trauma? 😅

Waktu aku nangis di kantor, leader timku mencoba menghiburku, dan dia sempat berkata, "katanya kalo berada dalam suatu pressure atau keadaan yang bikin kamu nangis, ada trauma masa kecil yang mentrigger"

And maybe yes it was; karena... 

Pada saat itu, aku sudah berusaha melawan dan menahan diri, memaksakan diri semaksimal mungkin buat tetap masuk kantor walaupun badan lagi nggak fit. Singkatnya lagi ada problem di kantor + kekurangan orang + karena aku senior, aku bisa dibilang memegang peran atas apa yang aku kerjakan + kondisi tubuh gak fit. Lalu bapak bos datang san bilang, jangan sakit. (Dengan bahasa yang cukup menyentil batin hahaha) lalu aku menangis. 

Besoknya aku menangis lagi, setelah dikomplain sama klien jepang. Tapi kalo yang ini, aku sadar dan tahu kenapa aku menangis, karena aku merasa gak adil. Dengan segala yang aku bisa yang aku usahakan, masih dicela dan aku gak punya ruang untuk menjelaskan alasannya kenapa. 


Dan beberapa kali pula, saat teman kantorku mendapatiku menangis, aku masih saja bilang, "padahal aku gak mau menangis!" (Masih denial, karena terbiasa seperti itu) 


Do not hold it in too much, nan. 

Apa yang bikin kamu sedih dan kecewa, komunikasikan. Cari jalan tengahnya, cari solusinya. Hadapi, jangan lari. 


:))

Kamu bisa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

🫳

Weekend

Diskursus Intover vs Ekstrover